JellyPages.com

Minggu, 26 Agustus 2012

[kisah] Seindah Mentari Pagi

Pagi itu di dapur....
" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan lamunanku.
" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.
" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.
" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.
" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu, tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap Asih sebagai anggota keluarga sendiri.

Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri tunggalku menghampiriku di kamar

[kisah] Selamat Jalan, the Champion..

Wajah tirus Hani dengan kepala tak berambut sedikit bergerak. Mata cekung, dulu jenaka yang menyimpan banya keceriaan dan keoptimistisan, kini ia memandangku dan mengerjap dengan layu . Seakan-akan ada yang ingin diungkapkannya. Kuhampiri tubuh yang lemah itu, dan kugenggam tangannya.

"Ada apa, Han..?"

Suara tilawah Al Quran Mama terhenti ketika menyadari ada sesuatu yang diminta Hani.


"Kenapa, sayang..? Ada yang sakit?." Tanya mama dengan suara parau.

Sudah sekian hari, Mama memang banyak menangis untuk Hani. Di tiap-tiap malamnnya, Mama mengucurkan air mata, memohon kepada Allah, untuk mau mendengar "bargaining" di dalam doa-doa Mama. Agar Allah mau mengulur waktu untuk Hani sampai beberapa waktu saja. Mulut Hani bergerak-gerak, kudekatkan telingaku pada wajahnya, agar dapat menangkap apa yang diungkapkannya.

"Asy..ha..du alla..."

[kisah] Menanti Bangau Lewat

Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, "Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi..." suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.
"Alhamdulillah…, laki-laki atau perempuan Bu ?" Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
"Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…" Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.
"Selamat ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit" janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.

[kisah] Maafkan Ibu, Bidadari Kecilku..

Malam belum seberapa tua, mata anak
sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku
telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah.
"Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus,
kamunya nggak tidur-tidur," pintaku .
Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang
lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah,
kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa
berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia
minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur
kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya
untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya
lembut.

[kisah] Kisah Sebuah Pernikahan

Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya
saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan
justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada
satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu.
Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama
'buntelan karung hitam' itu ....?!?"
Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon
istriku disebut 'buntelan karung hitam'.

[kisah] Ketika Ramadhan Tiba

Tidak terasa bulan Ramadhan sudah bergulir sepuluh hari.
"Gimana Bi ....... dapat ijin dari pak Hendra? " tanya Fitri, isteriku penuh harap.
"Nggak boleh Mi... nggak dapat ijin" jawabku.
Kulihat Fitri terdiam, tapi terlihat semburat kekecewaan nampak pada rona wajahnya. Yah betapa tidak cuti lebaran tahun ini tak kuperoleh dari atasanku. Berarti ini sudah tahun ketujuh kami sekeluarga tidak dapat berlebaran di kampung bersama sanak keluarga. Sejak menikah, sampai kami mempunyai 3 anak, aku dan Fitri memang tidak pernah merasakan berlebaran bersama keluarga.

Pada mulanya aku begitu yakin pak Hendra atasanku akan memberiku cuti 3 pekan, karena aku pikir sudah 2 tahun aku tidak mengambil cuti, dan lagi sudah tujuh kali berturut aku tidak dapat kebagian cuti lebaran. Tapi nyatanya dengan permintaan maaf, pak Hendra menolak ajuan cutiku. Posisiku sebagai chief manager di perusahaan ini mengharuskan aku menangani kontrak kerja yang diadakan sepekan setelah lebaran. Buyar sudah impian mudik lebaran bersama keluarga.Terbayang bagaimana Fitri sudah menyiapkan berbagai macam oleh-oleh untuk keluarga kami. Kebetulan keluargaku dankeluarga Fitri tinggal di kampung yang sama hanya dibatasi oleh sungai yang membelah. Dan bagaimana senangnya anak-anak kami dapat bertemu dengan mamak dan datuk nya. Oh tidak, aku tidak boleh mengecewakan mereka.
" Mi...bagimana kalau ummi saja yang pulang bersama anak-anak?', tanyaku.
"lalu abi bagaimana?" tanya Fitri.
'